KARAKTER.CO.ID, Samarinda — Kepulangan SMAN 10 Samarinda ke Kampus A di Jalan HAM Rifaddin bukan sekadar perpindahan fisik, melainkan pemulihan harga diri dan keadilan yang telah lama diperjuangkan. Di balik tembok sekolah itu, ada kisah lama yang belum sembuh.
Salah satunya milik Lela (nama samaran), seorang ibu dari mantan siswa yang menyaksikan langsung bagaimana anak-anak mereka dulu “diusir” dari sekolah.
“Putusan Mahkamah Agung sudah inkrah. Kami tidak ingin melawan siapa pun. Kami hanya menuntut hak anak-anak kami dipulihkan,” ujarnya, Rabu (25/6/2025) dengan nada suara yang masih menyimpan getir.
Wanita berusia 54 tahun itu mengingat bagaimana murid-murid dan guru-guru terpaksa meninggalkan ruang kelas yang sudah menjadi rumah kedua. Meja dan kursi dikeluarkan satu per satu, siswa pasrah, dan para orang tua hanya bisa menahan tangis. Lela mengungkapkan bahwa intimidasi pun sempat terjadi. Ada ancaman bahwa siswa tak akan naik kelas jika tidak mau pindah.
“Kami sudah minta toleransi waktu itu, tapi tidak digubris. Anak-anak stres, dan itu tak akan kami lupakan,” katanya.
Pengalaman pahit itu justru menjadi api semangat bagi para orang tua. Mereka bersatu, bukan untuk mencari musuh, tetapi untuk memastikan tidak ada lagi generasi yang mengalami hal serupa.
“Kami ingin menempatkan sesuatu kembali pada tempatnya. Ini soal martabat pendidikan,” tegasnya.
Kepindahan paksa SMAN 10 dinilai banyak pihak sebagai langkah yang tidak berpijak pada aturan hukum. Kini, setelah Mahkamah Agung memutuskan bahwa tanah Kampus A merupakan aset Pemerintah Provinsi Kaltim, para orang tua pun menuntut proses pemulihan berjalan tanpa hambatan.
“Kalau dulu anak kami diusir tanpa dasar hukum yang kuat, mengapa saat ini ketika semuanya sudah sah secara hukum kami malah dihambat?” tanya Lela dengan kecewa.
Mereka bahkan membawa persoalan ini ke pengadilan demi menuntut kejelasan eksekusi atas putusan MA. Bagi Lela dan para orang tua lainnya, ini bukan soal menang atau kalah, tapi soal kebenaran yang harus ditegakkan.
“Kami rakyat biasa. Tapi kami juga punya suara, dan kami siap menunggu, berapa lama pun itu,” tegasnya.
Di sisi lain, Suyanto, seorang guru yang telah mengabdi sejak SMAN 10 berdiri pada 1997, turut membagikan kisahnya. Ia mengenang masa awal sekolah berdiri di atas lahan kosong, dibangun dari nol bersama siswa-siswa pertama yang hanya berjumlah 60 orang.
“Saya saksi hidupnya. Tanah ini dulu tandus, tapi kami bangun perlahan, pakai dana negara APBN dan APBD,” ucap Suyanto, yang kini menjabat Plt Kepala SMAN 10 Samarinda.
Menurutnya, peran Yayasan Melati pada masa itu hanya sebatas fasilitator pembangunan, bukan pemilik. Ia bahkan masih menyimpan salinan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dengan jelas menunjukkan bahwa bangunan tersebut diperuntukkan bagi SMAN 10.
Ketika sekolah diminta pindah beberapa tahun lalu, ia mengaku tak punya pilihan selain mengikuti perintah atasan. Namun hatinya menolak.
“Waktu itu saya pikir ini tidak pas. Tapi saya guru biasa. Sekarang, saat kebenaran muncul, saya ingin bersuara,” ungkapnya penuh semangat.
Bagi Suyanto, kembalinya SMAN 10 ke Kampus A adalah jawaban dari doa panjang. Ia menyebut bukan kekuatan manusia yang membawa sekolah itu pulang, melainkan keputusan hukum negara dan restu dari Tuhan.
“Saya hanya ingin menunaikan amanah sebelum pensiun. Bukan karena saya hebat, tapi karena saya tidak ingin jadi bagian dari kebisuan terhadap ketidakadilan,” tutupnya. (Bey)












