PLN: PLTP Kamojang Hasilkan Kapasitas Listrik 140 MW

2 menit reading
Minggu, 25 Jul 2021 09:11 0 95 Redaksi

PT PLN (Persero) mengatakan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang menghasilkan kapasitas mencapai 140 megawatt (MW).


KARAKTER.CO.ID – Executive VP Komunikasi Korporat dan CSR PLN Agung Murdifi mengungkapkan PLTP Kamojang terintegrasi dengan PLTP Darajat 55 MW dan PLTP Gunung Salak 180 MW dalam PLTP Kamojang Power Generation O&M Services Unit (POMU) 375 MW.

Sementara, kapasitas produksi PLTP Kamojang mencapai 2.778 MWh sepanjang 2020. “PLTP Kamojang masih menjadi salah satu PLTP terbaik di Indonesia,” ujar Agung dalam keterangan resmi, Minggu (25/7).

“Bahkan PLTP Kamojang POMU ini menjadi contoh dan melakukan transfer knowledge dengan PLTP lain yang ada di Indonesia,” lanjutnya.

Ia menjelaskan PLTP Kamojang adalah salah satu bagian penting sejarah perjalanan kelistrikan di Indonesia. PLTP tersebut mulai beroperasi pada 1982 silam, saat wabah flu Spanyol sedang mengguncang dunia seperti pandemi covid-19.

Salah satu sosok penting di balik PLTP Kamojang adalah JB Van Dijk. Ia adalah guru di HBS Bandung, Jawa Barat.

“Ia penggagas awal energi panas bumi di era kolonial yang kemudian melahirkan PLTP Kamojang,” terang Agung.

Gagasan Dijk dimulai dengan tulisan berjudul “Krachtbronnen in Italie” atau “Kekuasaan di Italia”. Tulisan itu terbit di majalah “Kolonial Studien”.

Namun, tulisan Dijk ditanggapi dingin oleh pemerintah. Bahkan, Dijk mendapat kritik dari berbagai pihak yang menganggap tulisannya tak masuk akal.

Agung menjelaskan pemerintah Hindia Belanda baru menggelontorkan dana untuk proyek tersebut pada 1926 silam. Dana dikucurkan untuk mengebor Lapangan Kamojang.

Perusahaan yang ditugasi untuk melakukan pengeboran adalah The Netherland East Indies Vulcanologycal Survey. Lalu, eksplorasi dilakukan beberapa tahun kemudian bersama perusahaan Selandia Baru bernama Geothermal Energy New Zealand Ltd.

Sumber CNN, Minggu (25/07). (*)

Print Friendly, PDF & Email

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA
.read_related { display: none !important; } .bio_author { display: none !important; } .bio_avatar { display: none !important; } .bio_author { display: none !important; } .beritaxx_related { display: none !important; } .beritaxx_commentform { display: none !important; } .copyright { display: none !important; } .area_footer_menu taxx_clear { display: none !important; } .after_title { display: inline !important; font-size: 14px !important; } .secondary_content { display: none !important; } .beritaxx_commentform { display: none !important; } .copyright { display: none !important; } .footer { display: none !important; } .taxxfooter { display: none !important; } .have_comment { display: none !important; }